Transmigrasi terjadi berlangsung terus, setelah pelayaran berkembang, orang Hua ini menyeberang lautan ke Asia Tenggara, inilah asal usul orang Tionghoa di Indonesia. Tiong adalah tengah, Hua adalah nama sukunya, jadilah yang disebut orang Tionghoa, dalam bahasa Mandarin adalah Huaren (orang Hua).
Arus imigrasi ke luar Tiongkok atau ke arah barat dari pantai disebabkan beberapa hal:
1. Pertempuran yang tak kunjung selesai, perebutan kekuasaan antara para raja, atau pejabat setempat.
2. Perang antar suku, orang Hua lawan suku-suku utara yang jumlahnya tak banyak tapi kemampuannya perangnya luar biasa, seperti suku Xianbei, suku Qidan, suku Nvzhen (kemudian disebut Manchu), suku Mongol dll. Suku di selatan relatif lebih lemah, sehingga kepindahan ke selatan berjalan lebih mulus.
3. Perkembangan pelayaran, orang ingin berdagang ke daerah baru mencari kehidupan baru, mereka mulai datang ke Asia Tenggara.
4. Kekurangan tenaga kerja di Asia Tenggara, misalnya di Bangka, Belitung untuk pertambangan, orang Belanda menggunakan tenaga dari Tiongkok. Di Medan untuk perkebunan menggunakan orang Tionghoa dan Jawa.
5. Terdorong mencari kehidupan yang lebih baik.
Orang-orang Hua yang datang duluan, melalui kontrak kerja atau datang sendiri, lazimnya hanya laki-laki muda, mereka kemudian menikah dengan penduduk setempat, dan lahirlah orang-orang Tionghoa dari hasil perkawinan campuran. Jumlah mereka juga tak sebanyak penduduk pribumi, maka mereka menyerap kebudayaan dan menggunakan bahasa setempat. Ini asal mula sebutan peranakan.
Kedatangan orang Tionghoa tak pernah berhenti. Bayangkan tahun 1740 orang Tionghoa ditangkapi Belanda dan dibawa ke Sri Langka untuk kerja paksa, bahkan ada kabar dibuang ke laut, menunjukkan orang Tionghoa sudah banyak jumlahnya sehingga kolonial Belanda ketakutan. Pemberontakan orang Tionghoa yang dibantu pribumi Indonesia ada dalam buku-buku sejarah. Orang Tionghoa di Jakarta dibantai Belanda, sisanya dibatasi tempat tinggalnya, hanya boleh di satu tempat yang kemudian disebut Pecinan.
Hal ini tidak menghentikan arus kedatangan orang Tionghoa. Ketika pertengahan abad ke 19 di Tiongkok terjadi Perang Candu dan Revolusi Taiping, imigran orang Tionghoa berbondong-bondong datang ke Indonesia. Orang yang datang saat ini sekarang sudah generasi ke 5 atau 6. Kemudian ketika Tiongkok diserbu beberapa negara barat dan Jepang, akhir abad 19 kembali terjadi perpindahan besar-besaran ke Asia Tenggara. Orang Tionghoa menjadi banyak, mereka mulai mampu membentuk perkumpulan yang dinamakan Tionghoa Hue Kuan, kemudian membuka sekolah.
Karena kebanyakan berasal dari daerah berdialek Hokkian, maka dialek Hokkian yang dipergunakan. Tapi ketika terjadi revolusi Xinghai yang dipimpin Dr. Sun Yat Sen yang diikuti berdirinya Republik Tiongkok (Tionghoa Bin Kok) nasionalisme mulai tumbuh, bahasa Mandarin mulai dipelajari orang sampai akhirnya sekolah-sekolah Tionghoa resmi menggunakan bahasa Mandarin.
Perpindahan ke Asia Tenggara berlangsung terus, terutama ketika Jepang mulai menduduki Tiongkok Timur Laut dan mendirikan negara boneka yang bernama Manchuria, perpindahan besar-besaran terjadi. Perpindahan baru berhenti ketika Jepang menduduki Indonesia dan setelah Indonesia merdeka yang melarang imigran baru.
Orang-orang Tionghoa kemudian terpecah dua, yang berpendidikan Mandarin disebut totok dan yang berpendidikan Belanda atau yang tak bisa berbahasa Tionghoa lagi disebut peranakan. Sekian secara sederhana sejarah kedatangan orang Tionghoa ke Asia Tenggara. Yang datang terakhir sampai sekarang sekitar 2 atau 3 generasi. Yang datang belakangan banyak yang membawa isteri.
Penulis Liang U
Tweet |