Pada 1 Januari 2010, diketahuh AS telah menjual rudal pertahanan udaranya kepada Taiwan seharga 6,5 miliar Dollar yang membuat Beijing marah besar dan menganggap langkah AS akan merusak hubungan antara Beijing dan Washington. Tapi AS tetap tidak bergeming karena menganggap china juga melakukan hal serupa dengan langkahnya mendukung Korut membuat dan mengembangkan senjata nuklir dimana langkah tersebut sudah pasti akan sangat membahayakan pangkalan AS dan sekutunya di kawasan Asia Pasifik.
China dan AS adalah dua Negara kuat yang terus mengembangkan kemampuan militernya guna melindungi kepentingan strategisnya dari berbagai macam ancaman dan tekanan serta sama-sama memiliki ambisi kuat menjadi Negara number one. Tak jarang pula kedua Negara melakukan saling intip kekuatan mulai dari aksi spionase hingga penyusupan lewat jaringan cyber untuk mendapatkan data-data terkait militer dan pertahanan kedua negara.
Saat ini AS telah memandang china sebagai ancaman bagi kepentingannya di kawasan baik secara ekonomi maupun militer. Sehingga perlu bagi AS untuk mengambil langkah bijak demi mengamankan kepentingan strategisnya dengan merangkul Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN lewat KTT ASEAN ke-19 beberapa waktu lalu di Bali guna menghadang pengaruh china di ASEAN sekaligus masuk kedalam konflik laut china selatan. Selain itu bergesernya 2500 pasukan marinir AS dari pangkalannya di jepang menuju Darwin Australia memperkuat dugaan bahwa AS sedang berusaha mengamankan posisinya yang semakin terancam dengan perkembangan China akhir-akhir ini. Dimana kemampuan militernya sudah mulai bisa menjangkau beberapa pangkalan militer AS di jepang. Pesawat tempur siluman J-20, rudal anti-kapal induk, rudal jelajah, rudal anti-satelit (ASAT) dan Kapal Induk Shi Lang adalah beberapa bukti kemampuan China yang dianggap sangat meresahkan posisi Paman Sam.
Kabar agresifitas China di laut china selatan juga lembuat AS khawatir dan panik sehingga membuat sang adidaya perlu untuk meningkatkan militernya di kawasan tersebut guna melindungi kepentingannya. Apalagi militer china kerap kali di ketahui melakukan provokasi di laut china selatan dengan kehadiran armada tempurnya di wilayah tersebut. Sang paman yang dulunya terlalu disibukkan dengan pergelaran perang Irak dan Afghanistan kini sudah mulai mengalihkan perhatiannya ke Asia tenggara karena tidak ingin lahannya di rebut oleh sang panda.
Konflik laut china selatan
Melihat pengaruh China yang semakin kuat dan dominan, AS tidak senang dan tidak mau kecolongan apalagi sampai kehilangan eksistensinya di kawasan laut china selatan. Berbagai cara di lakukan untuk menekan pengaruh China termasuk rencana pergeseran 2500 personel militernya di wilayah bagian utara Australia yang hanxa berjarak sekitar 820 Km dari Indonesia.
Pentingnya kawasan tersebut bagi AS dapat dilihat dari kedatangan Presiden AS Barack Obama dalam pertemuan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Bali, Kamis (17/11). Dimana dalam pertemuan tersebut Obama mencoba menarik beberapa Negara yang tergabung dalam ASEAN untuk ikut serta berpartisipasi dalam menghadang pengaruh china yang dianggapnya agresif dalam sengketa laut china selatan seperti yang di laporkan oleh Vietnam dan Filipina di KTT-ASEAN.
Semakin memanasnya kawasan tersebut juga memaksa Filipina untuk mengirimkan kapal perang barunya yaitu Gregorio del pilar bekas kapal Coast Guard milik AS bersama kapal perang lainnya ke wilayah sengketa laut china selatan dan melakukan patroli. Karena jauhnya perbedaan kekuatan yang tidak sebanding dengan China, ternyata harus membuat Filipina mencoba menggalang suara dikomunitas ASEAN agar melakukan penentangan klaim laut china selatan atas territorial china sekaligus menggandeng AS masuk kedalam wilayah sengketa.
Presiden China Hu Jianto bereaksi keras melihat langkah AS yang menganggapnya sebagai sikap yang menantang china ditambah dengan penempatan ribuan personelnya di Australia yang akan semakin memperuncing permasalahan di kawasan tersebut. Hu menegaskan bahwa China memiliki hak untuk mengembangkan kepentingan nasionalnya tanpa melibatkan campur tangan Negara lain (AS) termasuk kepentingannya di laut china selatan namun ungkapan tersebut ditanggapi dingin oleh Obama.
Untuk mengawali langkah kebijakannya, AS akan mendatangkan pasukannya secara bertahap dan didukung dengan peralatan tempur canggih seperti F-22 Raptor dan C-17 Globe Master, sedangkan untuk pangkalannya seperti yang disampaikan Obama bahwa AS hanya akan menempati pangkalan lama milik Australia yaitu Robertson Barracks di Darwin. Sedangkan oleh China bahwa keberadaan pasukan AS di beberapa titik kawasan seperti Singapura, Jepang, Korea selatan, Guam dan Australia dipandangnya sebagai upaya AS untuk mengepung china yang terus berkembang secara signifikan baik secara militer maupun ekonomi.
Seperti yang kita ketahui, bahwa saat ini perekonomian AS sedang lesu dan mengalami defisit sebesar 98,5 milyar, sehingga membuat AS untuk terus mencari lahan baru dan mempertahankan lahan yang sudah ada. Itu sebabnya melihat potensi besar china di kawasan asia membuat AS tidak terima dan berusaha mengusirnya.
Hengkangnya pasukan AS dari timur tengah menuju asia tenggara sudah cukup menggambarkan bahwa kawasan ini sangat berharga bagi AS. Meski separuh anggaran pertahanannya di pangkas USD 400 miliar namun AS tetap tidak akan mengurangi kekuatannya dan mengorbankan kepentingannya di asia tenggara seperti yang pernah di ungkapkan oleh Obama pada pidatonya di KTT-ASEAN.
Lantas dimanakah AS akan menempatkan kepentingannya di laut china selatan? Menurut kutipan yang diambil dari kantor berita AFP (16/9), AS dan sekutunya Australia sangat berambisi untuk membebaskan jalur pelayaran di laut china selatan dan menjadikannya sebagai jalur internasional. Selain itu AS juga ingin menciptakan zona perdagangan bebas pasifik yang di kenal dengan sebutan Trans-Pasifik dimana China tidak termasuk didalamnya.
Komandan Komando Pasifik AS Laksamana Robert F. Willard pernah mengungkapkan bahwa nilai jalur laut kawasan laut china selatan untuk perdagangan bilateral tahunan bernilai USD 5,3 triliun, dimana USD 1,2 triliun terkait dengan AS. Melihat besaran nilainya AS tidak mau kehilangan lahan basah tersebut akibat terlalu fokus ke perang Irak dan Afghanistan yang membuat negaranya mengalami defisit yang cukup besar akibat banyaknya biaya perang yang di keluarkan melebihi pagu.
Pengaruhnya bagi Indonesia
Dengan berakhirnya perang perang Irak dan Afghanistan di timur tengah dan beralihnya fokus AS ke asia tenggara yaitu dengan rencana penempatan pasukannya di Australia dimana letaknya tidak jauh dari Indonesia sekitar 820 Km tentu akan memberikan dampak serta pengaruh buruk, baik secara politik, ekonomi dan militer bagi kepentingan nasional Indonesia kedepannya.
Pro dan kontra dari dalam negeri semakin tajam terlihat, tidak sedikit anggota DPR yang menolak penempatan pasukan AS dan menganggapnya akan dapat mempengaruhi stabilitas kawasan khususnya Indonesia dan Negara-negara ASEAN yang sedang bersengketa di laut china selatan. Suatu hal yang wajar mengingat kebijakan AS yang selalu berubah-ubah dan tidak pasti seperti yang diutarakan oleh pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana. Selain itu beberapa pengamat di Indonesia juga khawatir dan melihat bahwa tujuan AS dan pasukannya di negeri kangguru tersebut tidak lepas dari kepentingannya di papua dimana terdapat salah satu perusahaan emas terbesarnya yaitu Freeport McMoran serta upaya AS yang tengah bersiap menghadapi perubahan arah politik Indonesia yang dikhawatirkan akan berbalik dan menjauh dari kepentingan AS.
Namun anggapan tersebut di tepis oleh sebagian kalangan pejabat tinggi di negeri ini yang menganggap langkah AS menempatkan pasukannya di Australia bukan sebagai sebuah ancaman bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena tujuan penempatannya adalah untuk misi kemanusiaan yang meliputi bencana alam dan lain sebagainya seperti yang di sampaikan oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di KTT-ASEAN sesaat setelah mendapat penjelasan dari Presiden AS Barack Obama yang kemudian diamini oleh sebagian pejabat tinggi Negara termasuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Indonesia Letjen Marciano Norman.
Yang menjadi pertanyaan, apakah pemerintah RI sudah siap bila sewaktu-waktu pemerintahan AS merubah kebijakan politiknya untuk Indonesia ketika urusan dengan China di laut china selatan telah usai mengingat AS juga sudah melakukan pengkajian penguasaan geopolitik di kawasan dalam jangka waktu 20 tahun kedepan?
Tweet |