Dua pekan setelah dikumandangkan pertama kali secara instrumentalia pada 28 Oktober 1928 (pada Kongres Pemuda II), surat kabar Sin Po - koran milik keturunan Tionghoa di Indonesia - memuat syair "Indonesia Raya" pada 10 November 1928. Secara nyata, koran ini yang pertama kali mempublikasikan lagu kebangsaan Indonesia, lengkap dengan partiturnya. mikeportal.blogspot.com
Di koran edisi bahasa Melayu itu, WR Supratman menulis dengan jelas 'lagu kebangsaan' di bawah judul Indonesia Raya. Naskah tersebut ditulis oleh WR Supratman dengan tangga nada C dan dengan catatan 'Djangan Terlaloe Tjepat' (lihat Tionghoa Dalam Pusaran Politik; Benny Setiono)
Beberapa sumber lain menyebutkan WR Supratman menulis dengan tangga nada G dan irama Marcia.
Kata "Indonesia" dan "Tionghoa"
Sin Po, yang pertama kali terbit sebagai mingguan pada 1 Oktober 1910, juga merupakan surat kabar yang mempelopori penggunaan kata 'Indonesia' menggantikan 'Nederlandsch-Indie', 'Hindia-Nerderlandsch', atau 'Hindia Olanda'. Harian ini juga yang menghapus penggunaan kata 'inlander' dari semua penerbitannya karena dirasa sebagai penghinaan oleh rakyat Indonesia. mikeportal.blogspot.com
Sebagai balas budi, pers Indonesia mengganti sebutan 'Cina' dengan 'Tionghoa' dalam semua penerbitannya. Dalam percakapan sehari-hari, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian juga mengganti kata 'Cina' dengan kata 'Tionghoa'.
Koran Sin Po saat itu memang memiliki pandangan politik yang pro-nasionalis Tiongkok. Namun karena alasan itu pulalah, yakni berdasar ajaran Dr Sun Yat Sen, Sin Po mendukung perjuangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Dalam San Min Chu I, Sun Yat Sen menulis perkembangan kemerdekaan Tiongkok tidak akan sempurna selama bangsa-bangsa di Asia belum merdeka.
Gerakan pro-nasionalis Tiongkok yang didukung Sin Po akhirnya sirna seiring dengan kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, yang juga banyak didukung tokoh-tokoh Tionghoa. Mereka yang menyatakan Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia pernah mengorganisir dalam Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada 1932.
Mereka barangkali sepandangan dengan Dr Josef Glinka SVD, antropolog senior dari Universitas Airlangga, bahwa soal pribumi atau tidak, hanyalah persoalan perhitungan waktu, kapan leluhur mereka datang ke Indonesia.
Hal inilah yang mungkin perlu disadari oleh mereka yang menebar kebencian terhadap etnis Tionghoa belakangan ini. Seperti kata Glinka, yang lebih dulu datang, tentu tidak boleh mencap yang kemudian sebagai non-pribumi.
Terima kasih kepada Sin Po, juga pada saudara kita warga Tionghoa, yang memungkinkan alunan biola WR Supratman tak lagi menjadi nyanyian sunyi.
Mike Portal | sumber : jurukunci4.blogspot.com
Tweet |