Renungan Untukmu Bang Foke dan Mas Jokowi


Kinerja organisasi pemerintahan sangat  dipengaruhi oleh kualitas  pemimpin yang memegang kendali dalam pemerintahan. Jika pemimpinnya sontoloyo, maka anak buahnya ikut tertular penyakit memble alias kemplo loyo-loyo. Oleh karena itu jika Anda menginginkan kesinambungan dalam tumbuh kembangnya organisasi pemerintahan yang ideal, maka di pemilukadal yang akan datang, masyarakat harus mempersiapkan lebih awal figure pemimpin yang benar-benar punya kadigdayan ngelmu sejati yang mumpuni. Sehingga jangan sampai kita salah pilih dan tertipu oleh pemimpin sontoloyo seperti sekarang ini.

Suryo Danisworo mantan Presiden Direktur BNI Securities dalam bukunya yang bertajuk Warisan Kepemimpinan Jawa untuk Bisnis, Suryo menggarisbawahi bahwa ada tiga hal pokok dari sifat pemimpin yang kerap dibutuhkan oleh suatu kelompok atau organisasi. Yakni, berada di depan, mengayomi, dan mencerahkan. Lebih jauh, ia menyatakan, sikap batin akan selalu mendominasi unsur pemimpin dalam ketiga sifat tersebut, karena segalanya bermula dari karakter dan komitmen. “Unsur sikap batin akan selalu lebih banyak dari unsur lain yang merupakan kecerdasan atau keterampilan seorang calon pemimpin,” tulis pria kelahiran Surakarta, 14 November 1947, ini dalam bukunya.

Sikap “berani” berada di depan, menyatakan bahwa pemimpin harus berani bertanggung jawab dan bukanlah orang yang berkarakter pengecut. Apalagi stress berat ketika ada acara formal lantaran tidak ada yang membuatkan naskah pidato. Kalau kita jumpai pemimpin seperti ini, dapat dipastikan kalau ia hanyalah pemimpin jadi-jadian, alias pemimpin gadungan yang sengaja dipoles seperti pemimpin sungguhan . Selain itu, konteks “berani” yang dimaksudkan adalah suatu sikap batin yang sportif, fair, dan wajar. Tidak dibuat-buat, jujur kalau dirinya tidak mampu, fair kalau gelarnya hanya beli, sportif kalau pemerintahannya amburadul. Sebab, menurutnya, pemimpin sejati adalah orang-orang yang tidak hanya berani tampil di kala kelompoknya senang, melainkan juga bertanggung jawab ketika kelompoknya dalam kondisi sulit. “Dia (pemimpin) harus habis-habisan untuk melindungi kelompoknya. Apalagi, seorang pemimpin sejati akan muncul untuk mengambil alih tanggung jawab ketika kelompoknya dalam kondisi berbahaya.

Memang tidak mudah menemukan calon pemimpin yang benar-benar memenuhi kriteria berani berada di depan. Dari pengalamannya sebagai tenaga profesional, teman-teman sesama profesinya sering bependapat, posisi untuk berani di depan adalah sikap batin yang perlu dipertimbangkan secara profesional. Dengan kata lain, perlu dihitung untung dan ruginya.Namun demikian yang terjadi sekarang ini, seorang pemimpin hanya berani karena bombongan saja. “Berada di depan lebih dari sekadar gaya atau acting sok jagoan, biar dilihat sebagai orang hebat,  tetapi di sisi lain ia sendiri menjadi bagian dari suatu sistem yang tidak fair dan dari suatu keadaan yang tidak bersih,” .

Bagi pemimpin sejati, sikap untuk siap menjadi korban agar organisasi pemerintahannya bisa menjadi lebih baik bukanlah  sikap bodoh. Menurutnya, sikap itu timbul bukan karena ingin tampil sebagai ksatria, tetapi timbul dari sikap moral seorang manusia yang berjiwa pemimpin sejati. “Secara moral, bila tidak ada pilihan lagi, pantaskah dia sebagai pemimpin membiarkan dirinya selamat dan kelompoknya yang celaka? Karena pemimpin bukanlah pemimpi. Pemimpin sejati tidak akan segan mengambil tanggung jawab anak buahnya,” tutur Suryo menandaskan. Jadi, menurutnya, menerima jabatan sebagai pemimpin berarti harus berani menerima segala konsekuensi, tidak hanya kenikmatannya, tetapi juga risikonya karena jabatan pemimpin adalah jabatan yang mendapatkan privilege.

Sikap batin kedua adalah mengayomi. Dijelaskan Suryo, mengayomi adalah sikap batin yang lebih dari sekadar melindungi. Sikap ini mampu menciptakan keteduhan, yang akan membangun sinergi dan daya bagi kelompoknya.Bukan sebaliknya. Ketika usai dilantik, malah menimbulkan kegalauan, ketidakpercayaan, jadi rasanan, dan menimbulkan kekisruhan. Oleh karena itu jika seorang pemimpin tidak punya sikap batin dan kemampuan untuk mengayomi, maka kinerja dari kelompok menjadi tidak terarah dan tidak optimal.

Secara mendalam, Suryo menyatakan, bahwa daya kekuatan batin yang ditimbulkan oleh unsur mengayomi dari seorang pemimpin sangatlah dahsyat. “Saya menjadi saksi bagaimana team work yang merasakan sifat pengayoman dapat melakukan hal-hal yang luar biasa. Team work yang optimal akan menghasilkan daya yang optimal,” tuturnya memastikan. Misalnya, jika seorang karyawan merasa terayomi di lingkungan kerjanya, tentu akan membuat dia merasa nyaman dalam bekerja sehingga akan tercipta produktivitas yang tinggi bagi perusahaan, karena karyawan akan lebih mampu berkreativitas. Oleh karena itu, jika seorang bodoh dijadikan pemimpin , maka hubungan batin antara pemimpin dan yang dimpin dipastikan bakal terjadi kecemasan yang sangat mendalam. Ujung-ujungnya staf bagian humas bakal sakit jantung jika sang pemimpin mudah tersinggung.

Ciri ketiga, ialah “mencerahkan”. Ia menjelaskan, pemimpin harus mampu memberi pencerahan kepada anggota kelompoknya. Seorang pemimpin harus memeiliki kecerdasan, sejarah pendidikan akademik yang dapat dipertanggungjawabkan dan punya keterampilan memberikan pencerahan, wawasan, pendidikan pada staf yang dipimpinnya.” Kecerdasan itu dapat berupa keterampilan dan pengetahuan di bidang manajemen atau umum, namun juga termasuk hal-hal yang khusus sesuai disiplin ilmu yang disyaratkan bagi seorang pemimpin untuk menjalankan fungsi memimpin perusahaan atau organisasi”.

Nah, dari uraian di atas, akankah kita salah pilih lagi memilih pemimpin kita di masa datang?. Jawabnya tergantung Anda juga. Toh kalau ‘serangan fajar’ biasanya yang terjadi, kualitas pemimpin ini menjadi kabur dan menghilang tatkala uang dua puluh ribu masuk di saku Anda. Maka jadilah negeri ini disantap oleh para penyamun politik yang rakus dengan harta, tahta, dan wanita-wanita binal.

Penulis Ki Setyo Handono

Mike Portal | sumber : kompasiana.com

Love to hear what you think!