Ahok, Cina Loe!!


Orang akan berpikir dua kali sebelum meneriaki seseorang dengan kata-kata, “Cina lu!”. Sebab ungkapan seperti itu lebih terdengar sebagai makian daripada pujian. Kata “Cina” masih memilki konotasi negatif daripada positif. Begitu buruknya kata “Cina” sampai-sampai orang-orang keturunan Cina sendiri lebih suka menyebut diri mereka “ Chinese” atau “Keturunan Tionghoa” daripada “Orang Cina”. Bahkan bisa-bisa mereka tersinggung jika disebut sebagai “Orang Cina”.

Kata “Cina” selalu diasosiasikan dengan ras kulit kuning yang bermata sipit, komunitas eksklusif, pelit serta percaya tahyul. “Cina” juga sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang “bukan kita”. Cina sudah bukan lagi masalah genetik, tetapi sudah berkembang menjadi kata sifat yang bermakna negatif. Mereka dianggap sebagai suku bangsa lain yang mengeruk kekayaan Indonesia untuk keuntungan mereka. Sesuatu yang membuat orang-orang “Pribumi” mudah iri terhadap orang-orang “Cina”, sehingga orang-orang yang merasa “Indonesia Asli” bisa menjadi amat diskriminatif dan represif terhadap mereka. Puncaknya, adalah peristiwa Mei 1998, dimana toko-toko milik orang-orang Cina dijarah dan para wanitanya, konon banyak yang diperkosa.

Ditengah pandangan masyarakat yang masih seperti tersebut diatas, memasang Ahok sebagai calon wakil gubernur adalah sebuah keputusan politik yang sangat berani. Menjual Ahok untuk menarik simpati publik adalah sebuah perhitungan politik yang melawan arus. Tetapi apa yang terjadi?, justru pasangan Jokowi-Ahok meraih suara terbanyak dalam acara pesta coblosan kemarin. Terlepas dari figur Jokowi yang memang kuat, figur Ahok yang “Cina” terbukti bukan menjadi “masalah”. Ini menandakan bahwa pandangan orang-orang Jakarta telah berubah, bukan saja terhadap kata “Cina”, tetapi juga terhadap kata-kata “Putra Daerah”.

Kemenangan Jokowi-Ahok menggambarkan sebuah kesadaran masyarakat bahwa pribumi atau putra daerah bukanlah sebuah jaminan. Rakyat sudah muak dengan banyaknya pejabat pribumi yang menjadi “maling”, serta banyaknya penguasa yang berasal dari putra daerah, ternyata justru “merampok” daerahnya sendiri. Bukan cuma itu, kemenangan Jokowi-Ahok yang notabene adalah kader-kader yang kurang “diurus” oleh partainya sendiri juga menggambarkan, bahwa integritas pribadi lebih menjamin dibandingkan dengan kebesaran partai politik yang selama ini ternyata hanya lebih sebagai masalah bangsa daripada sebuah solusi.

Dilihat dari segi penampilan, Jokowi-Ahok bisa dikatakan sebagai pasangan yang paling culun dibandingkan dengan pasangan-pasangan calon lainnya. Dari gelar sekolahan, bintang dipundak maupun jabatan dipartai, Jokowi-Ahok masih bukan apa-apanya dibandingkan dengan kandidat-kandidat yang lain. Bicara Jokowi yang medhok Jawa dan tidak trampil beretorika, serta pakaiannya yang agak nglomprot sangat jauh dari citra keren seorang pejabat yang berwibawa. Sedangkan gaya Ahok yang kaku dan malu-malu bisa jadi karena kurang pede dengan ke”Cina”annya. Dengan melihat kenyataan ini, kemenangan Jokowi-Ahok telah menunjukkan kepada kita, bahwa masyarakat Jakarta sudah bosan dengan gaya politik pencitraan.

Pasangan Jokowi-Ahok bukanlah pasangan yang hebat, mereka menjadi hebat karena masyarakat Jakarta mulai menyadari bahwa dikotomi kosmopolit-local atau pri-nonpri yang selama ini mereka andalkan terbukti tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah mereka. Penduduk Jakarta telah memberikan contoh kepada rakyat Indonesia, bahwa ras, suku dan agama tidak dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah seseorang layak dijadikan pemimpin atau tidak. Cina, Batak, Bugis, Jawa, Islam, Kristen, Hindu tidak bisa dijadikan jaminan sebagai “pabrik” yang bisa mencetak seorang pemimpin baik.

Integritas seorang pemimpin tidak ditentukan dari partai mana dia dicalonkan atau dari etnik apa mereka dilahirkan atau dari agama apa yang mereka peluk. Kemenangan Jokowi-Ahok telah membuka mata kita bahwa masyarakat semakin plural, egaliter dan kosmopolit. Popularitas Jokowi-Ahok telah membuktikan, bahwa nalar politik masyarakat Jakarta jauh lebih modern dibandingkan dengan paradigma politik tokoh-tokoh partai yang masih berpikiran primitif dengan politik identitas dan dagang sapinya.

Tujuan kepemimpinan bukanlah untuk membangun sebuah citra.  Kekalahan para kandidat lainnya merupakan akhir dari mimpi petualangannya sendiri untuk merebut pesona kekuasaan. Mereka telah bergumul dengan ide-ide maha dahsyat agar bisa menjadi sang maestro. Sedangkan Jokowi-Ahok adalah orang-orang sederhana dengan track record yang sederhana pula. Pengalaman Jokowi-Ahok hanyalah bangkit membenahi kepemimpinan secara sederhana dan membawa masyarakatnya ketujuan yang didambakan. Jokowi-Ahok dihormati khalayak karena mereka berdua telah menghindari sebuah kekuasaan.

Penulis Sri Wulandari

Mike Portal | sumber : kompasiana.com

Love to hear what you think!