Ernest Prakasa, Komedian Sukses Dari Kalangan Tionghoa

Ernest Prakaya (Stand Up Comedy)

Mike PortalSaya harus katakan dengan tulus hati, bahwa kemampuan melawak kho Ernest meningkat tajam. Retoriknya tidak lagi mengada-ada dan agak dipaksakan. Tetapi lebih mengalir dan terasa nyata. Adalah sebuah momen yang tepat, saat imlek tahun ular yang lalu Ernest dan komplotannya tampil. Haha.. Bahkan, yang jauh lebih menyentuh saat komplotannya itu menyajikan lawakan dengan basis budaya yang sangat segar. Maksud saya adalah, mereka -termasuk Ernest- memberikan cakrawala baru tentang etnis Tionghoa. Mengenalkan, sekaligus bercerita lucu-lucu tentang orang Tionghoa d/h disebut orang Cina.

Saya meyakini, tampil di stand up bukan sesuatu yang mudah. Seperti lazimnya orang Tionghoa dan keturunannya, Ernest tekun berlatih dan menyiapkan diri dengan cermat. Sesuatu yang jamak kita temui pada orang-orang Tionghoa di Indonesia. Disiplin dan penuh dengan ketekunan. Itulah yang saya perhatikan dari setiap momen stand-up Ernest.

Mengenalkan kebudayaan Tionghoa melalui jalur lawak gaya baru macam stand-up adalah hal yang baru. Dibutuhkan keberanian, tapi yang paling bagus, dibutuhkan lebih banyak riset. Ada disparitas yang ketara antara beberapa suku jenis Tionghoa. Saya ambil contoh. Suku Hakka (Khe) sangat berbeda dengan suku Hainan, Tiochiu, Hokcia,Hokkien, dan Kantonis. Mulai dari family name, maupun gradasi warna kulit, bahkan tingkat kesipitan mata. Hahaha…

Lewat punch-punch (lontaran/celetukan kalimat lawak) mereka bertumbuh. Mereka memancing tawa. Tapi yang jauh lebih penting dalam struktur sosial masyarakat Indonesia, mereka menjaring pasar. Apa maksudnya menjaring pasar? Mereka mengenalkan sudut lain dari kebudayaan Tionghoa kepada seluas-luasnya masyarakat Indonesia.


Berasimilasi
Saya lebih suka terjemahan bebas asimilasi adalah adaptasi. Yaitu proses penyesuaian diri yang terus-menerus dilakukan. Fokusnya -bila terkait stand up- adalah menyederhanakan materi lawak, sehingga mudah dimengerti oleh awam atawa pribumi.

Fokus yang saya maksud penting, karena ada gap yang cukup besar dalam memahami kebudayaan Tionghoa. Baik oleh orang Tionghoanya sendiri, maupun oleh orang pribumi. Sehingga ada jeda yang cukup panjang untuk memahami esensi setiap lawakan yang ditampilkan. Jika yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ada gap yang besar antara pribumi dan Tionghoa. Saya anjurkan Ernest dan komplotannya untuk mencari tahu di Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Maksud saya adalah, supaya lawakan tentang Tionghoa dan pembawaan Tionghoa bisa dinikmati dan dipahami oleh banyak orang. Tidak mudah. Saya yakin tidak mudah. Tapi bukan hal yang mustahil. Soalnya saya berpikir ada idiom-idiom dan lawakan-lawakan spesifik yang hanya dipahami bila kita bergaul di dalam komunitas Tionghoa. Komunitas Tionghoa sendiri basisnya adalah tempat keagamaan (gereja, vihara). Kemudian bisnis (toko, pasar),  komunitas sekolah dan pemukiman, dan keluarga (satu nama marga). Di luar yang saya sebutkan, agak sulit melihat orang Tionghoa bergaul dengan strata sosial yang lebar. Baik tetangga, maupun dengan bawahan/karyawan. Jadi wajar bila streotipe yang salah muncul.

Semogalah stand up comedynya Ernest bila menetralisir streotipe yang salah tersebut.


Persetan dengan minoritas - mayoritas!


Saya tidak ingin terjebak pada dikotomi dan dualisme minoritas-mayoritas. Itu adalah dikotomi klasik. Yang kehadirannya senantiasa terwujud pada lawakan-lawakan Ernest dan komplotannya. Saya menghimbau dan berharap agar Ernest mau menggali lebih dalam lagi realitas sosial masyarakat Tionghoa. Bisa lewat interaksi sosial antar suku, status sosial, maupun lintas budaya, entah itu engkong dengan cucu, maupun mertua dengan menantu. Jika kita merujuk pada cerita-cerita masa lalu di koran-koran Batavia. Banyak sekali bahan yang bisa dijadikan acuan dalam melawak. Atau jika terlalu lama, tidak ada salahnya bergaul dengan orang-orang Tionghoa yang ada di pasar/ toko. Sehari-hari mereka punya banyak cerita lucu saat berinteraksi dengan pelanggan.

Tidak harus terpaku pada penderitaan etnis Tionghoa yang terus-menerus didiskriminasi. Tidak salah sih, tapi seperti mengutip kata-kata Anggun C Sasmi, ‘nyebelin!‘. Namun saya tetap kagum dan menaruh respek yang besar pada usaha Ernest dan komplotannya.




Bravo Ernest!

Penulis Astro Dono

Love to hear what you think!