Demikian dengan beberapa pengusaha asal Tionghoa yang berhasil diwawancarai. Bagaimana kerasnya usaha seorang warga Tionghoa di Manado, seperti satu di antaranya mengawali usaha dengan kios rokok dan kini bermetamorfosa menjadi mall megah di Manado serta sukses.
Tulisan ini merupakan hasil wawancara penulis pada Kamis (3/2/2011) silam, dalam rangka memeringati Imlek dan artikel ini telah diterbitkan dalam surat kabar lokal Tribun Manado pada Jumat (4/2/2011).
Ungkapan berakit-rakit ke hulu, berenang ke tepian, bersakit-sakit dulu, bersenang-senang kemudian agaknya tak berlebihan menggambarkan etos kerja sekaligus semangat untuk menjawab tantangan hidup warga Tionghoa, termasuk di Manado. Momen Imlek menjadi waktu mengukur perjalanan lalu dan rencana ke depan.
Tak dapat disangkal andil warga Tionghoa dalam menggerakkan perekonomian di Manado dan Sulut secara umum. Tak berlebihan pula bila menyebut kawasan bisnis Megamas dengan Megamall dan MTC serta Manado Town Square (Mantos) sebagai satu di antara poros penggerak ekonomi di Manado.
Seiring waktu, geliat bisnis ketiganya menemukan riak kesuksesan mengarungi gelombang pasang surut usaha. warga Manado juga ikut merasakan denyut kesuksesan mereka, meski dengan bentuk atau skala yang berbeda. Pada titik ini, warga juga berhak bertanya bagaimana kiat pengelola membawa biduk usahanya berkembang sedemikian pesat?
Kunci suksesnya ternyata kegigihan dan kerja keras tak kenal menyerah. Setidaknya itulah kesimpulan hasil perbincangan secara terpisah dengan Irawan Handoko, General Manager PT Megasurya Nusalestari, pengelola Megamas, lalu Rudini Wijaya, General Manager Mantos, serta Yoce Poluan, pengusaha sukses Manado yang memilih menghabiskan sisa usianya mengabdi di Klenteng Tian Tan Kong.
Irawan mengatakan, kesusksesan sejatinya tidak mengenal asal usul. Siapa saja dapat meraih impiannya. Perbedaannya menurut Irawan terletak pada kegigihan dan keuletan yang dimiliki sejumlah warga Tionghoa, sebagai modal dalam mengarungi kehidupan.
"Kami ini pendatang sehingga membutuhkan kegigihan lebih untuk survive," ujarnya.
Selain modal itu, perlu juga kerja keras. Irawan meyakini kesuksesan tak semudah membalikkan telapak tangan, apalagi pengalaman semasa orde baru 9orba) banyak warga Tionghoa berada pada posisi yang dilematis. Dia lalu mencontohkan sulitnya warga Tionghoa mengurus kewarganegaraan, termasuk mereka yang telah menjadi atlet kebanggaan nasional.
"Ada dulu pebulutangkis Indonesia, dia Tionghoa dan ketika mengurus surat bertanding demi Indonesia malah dipersulit," sebutnya. Sejarah mencatat, kendati sudah mengharumkan Indonesia kenyataannya pasangan Alan Budikusuma dan Susi Susanti, pebulutangkis andalan tanah air sempat mengalami kondisi yang diungkapkan Irawan.
Beruntung, di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), perlakuan berbeda terhadap warga Tionghoa berangsur berubah. Negara memberikan kebebasan warga Tionghoa berkembang dan mengembangkan tradisinya yang sempat terbungkam selama puluhan tahun termasuk perayaan Imlek.
Karenanya kata Irawan, momen Imlek 2563 menjadi momen syukur atas berkat Tuhan. Juga menjadi waktu berkumpul bersama keluarga besar, kendati sekedar makan malam bersama. Kesempatan tersebut sekaligus momen untuk mengevaluasi diri selama setahun terakhir. "Harapan saya tahun berikutnya berkembang lebih baik," ucap Irawan.
Senada, Rudini juga melihat Imlek menjadi kesempatan bercermin terhadap perjalanan hidup, juga menjadi membuang hal yang tak baik menuju kondisi yang lebih maju dan melesat. Pria berusia 27 tahun (saat wawancara) itu mengaku sangat mengidolakan sang ayah, Hengky Wijaya, pemilik Mantos dan sejumlah bisnis real estate.
"Dulu papa saya pedagang kaki lima, dari berjualan rokok, dan sekarang bersyukur bisa berada di posisi saat ini," ungkapnya mengenang. Rudi mengaku belum sukses menjalankan usahanya mengelola Mantos. "Yang sukses itu papa saya, saya belum sukses, masih banyak harapan yang ingin saya raih," ucapnya. Sang ayah di mata Rudi merupakan sosok teman, sahabat, ayah dan pemimpin yang bijak.
Rudi melihat perjuangan ayahnya sejak nol hingga sekarang, tak lepas dari kegigihan dan keuletan. dia ingat betul didikan orangtuanya yang disiplin, termasuk dalam memilih keputusan yang benar dalam hidup. "kalau benar didukung, namun kalau salah bagaimanapun dilarang," imbuhnya.
Rudi mengaku, orangtuanya mendidik jauh dari kemanjaan. Saat SMA, meski ekonomi ayahnya sudah mapan, dia tetap tak diizinkan memiliki telepon genggam. Padahal sekarang anak SD saja sudah pegang ponsel. Namun ayahnya luluh dan bersedia meminjami untuk berkomunikasi ketika bepergian jauh.
Bungsu tiga bersaudara itu juga bersyukur punya ayah yang demokratis sehingga ia bisa memiliki keputusan sendiri terhadap urusan bisnis yang dijalankan. Imlek bagi Rudi menjadi sandaran berdoa dan berharap masa depan lebih gemilang.
Kondisi sederhana dan bernuansa prihatin juga dirasakan Koh Sian, nama asli Yoce Poluan.
Dia mengaku menikmati masa senjanya. Namun dia tak melupakan kenangan hidup masa kecil dengan segala keterbatasan. Apalagi dia terlahir dari keluarga yang kurang utuh sehingga sejak awal harus mandiri. "saya tak sekolah, karena tak ada yang mengurus saya," kenangnya.
Meski demikia tak lantas membuatnya menyerah, dengan keyakinan diri, dia bertekad menjalani hidup dengan mandiri. Mulai menjadi tukang bangunan, penjahit, hingga berdagang. Kini Koh Sian lebih banyak menghabiskan waktunya di Klenteng Tian Tan Kong. Kehidupannya kini juga sudah lebih baik dibanding masa lalunya. Sebuah rumah dan toko menjadi miliknya.
Namun ia mengingatkan tidak semua warga Tionghoa sukses tapi karena belajar. "Tradisi Tionghoa mengenal kegigihan dan tak kenal menyerah, maka menjadikan sebagian besar sukses," katanya. Dia mengaku meski hidup prihatin di masa kecil namun didikan orangtuanya yang keras, menempanya menjadi lebih ulet dan teliti.
Karenanya, ia memaknai Imlek sebagai momen menuju dan menjadi semangat baru untuk maju. "Ibaratnya menanggalkan baju lama yang kotor dan diganti yang baru. Baju lama dicuci supaya bersih dan membawa berkat yang lebih baik," pungkasnya.
Tweet |