Kutipan diatas merupakan kata-kata yang meluncur dari mulut tokoh perempuan China dalam sebuah cerpen karya Seno Gumira Ajidarma, yang berjudul "Clara atawa Perempuan yang diperkosa". Ratapan ini di dasarkan pada kerusuhan 13 - 14 Mei 1998 di Jakarta yang merupakan malapetaka terbesar bagi warga keturunan China.
Kisah pemerkosaan terhadap wanita keturunan China merupakan tragedi paling memalukan dari rentetan kejahatan kerusuhan Mei 1998. Banyak yang tak percaya, kebiadaban kepada anak sebangsa terjadi di negara yang penduduknya tersohor ramah tamah di seantero dunia. Pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan China cepat menyebar dan menjadi buah bibir masyarakat dunia, heboh.
Gelombang protes dalam berbagai demonstrasi terjadi dimana-mana, mulai dari Manila, Hongkong, Bejing, Boston dan tempat lainnya membawa poster menyebutkan Jakarta sebagai "Ibukota Pemerkosaan Wanita".
Bukan hanya wanita keturunan China yang menjadi sasaran kejahatan bedebah Jakarta saat itu. Seluruh warga etnis China menjadi sasaran amuk massa. Kantor, toko, ruko, rumah, dan harta benda mereka dibakar serta dijarah oleh para perusuh yang diamuk amarah, dendam kesumat.
Para pengamat sosial mengatakan kerusuhan rasial terhadap etnis China merupakan puncak dari gunung es kecemburuan sosial akibat kebijakan ekonomi pemerintah tidak berpihak kepada pribumi. Kecemburuan bermotif kesenjangan ekonomi memang sering menjadi pemicu utama kerusuhan rasial. Amy Chua melihat faktor dominasi minoritas perekonomian merupakan ""salah satu"" pemicu kerusuhan rasialis (Amy Chua, 2003).
Fakta memang mengatakan perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta mayoritas dikendalikan oleh pengusaha beretnis China. Di Jakarta, mereka menguasai seluruh sektor perdagangan, mulai pasar tradisional, toko di pinggir jalan, sampai perusahaan besar dibidang properti, perkebunan, dan sektor ekonomi lainnya. Coba saja lihat pusat percetakan di Jakarta yang terletak di Kali Baru, Pasar Senen, hampir semua mesin-mesinnya dimiliki orang China. Begitu pula pusat perbelanjaan semacam mall, departemen store, minimarket, dan pasar elektronik pemiliknya orang China.
Daftar orang terkaya di Asia itu juga seolah membenarkan apa yang ditulis John Naisbitt dalam buku Megatrends Asia, tentang keunggulan ekonomi "overseas Chinese" , mengingat mereka memiliki jaringan kultural yang sangat kuat sehingga mampu menguasai jaringan ekonomi di kawasan Asia Pasifik sampai 60%.
Meski, etnis China menguasai perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta, namun secara formal mereka belum diberi kesempatan menduduki jabatan penting di Pemerintah DKI Jakarta. Sejak, Jakarta menjadi ibukota negara, peran politik etnis China di pemerintah belum mendapatkan tempat sebagaimana etnis lain yang menjadi warga ibukota. Fakta membuktikan peran etnis China di pemerintah, baik sebagai gubernur maupun wakil gubernur sangat minimalis.
Namun, pilkada Jakarta lalu berkata lain. Menurut perhitungan cepat lembaga survai, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang beretnis China berhasil menjadi Wakil Gubernur Jakarta mendampingi Joko Widodo sebagai Gubernur. Kemenangan Jokowi-Ahok sebagai bukti bahwa mayoritas penduduk Jakarta tidak menolak keberadaan etnis China di pucuk kepemimpinan Pemerintah Daerah DKI Jakarta. Meski hanya sebagai wakil gubernur membuktikan rakyat Jakarta menerima dengan tangan terbuka keberadaan etnis China di birokrasi ibukota.
Bukan Cek Kosong
Tentu, keberadaan Ahok sebagai wakil gubernur Jakarta mendampingi Jokowi bukan sekadar cek kosong. Dukungan rakyat kepada mereka harus dibalas dengan komitmen Ahok mengangkat harkat dan martabat rakyat Jakarta.
Menurut data BPS, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan di DKI Jakarta pada Maret 2012 sebanyak 363.200 orang dengan pendapatan Rp379.052 per kapita per bulan. Sementara itu, rakyat miskin Jakarta yang tak terukur BPS jauh lebih banyak lagi. Coba saja perhatikan buruh pabrik yang menjadi mayoritas penduduk Jakarta, bergaji rata-rata 1.5 juta perbulan. Apa mereka tidak dikategorikan miskin, apalagi jika si buruh telah mempunyai tanggungan, uang gaji sebulan hanya cukup sekadar menambal perut, mengenaskan.
Bukan hanya persoalan kemiskinan saja yang menjadi masalah besar Jakarta. Kesenjangan hidup antara rakyat miskin dan kaya pun menjadi fenomena sehari-hari. Orang miskin di Jakarta tidak seperti di daerah. Bagi orang daerah, uang Rp.1.500.000 masih bisa buat bertahan hidup sebulan. Di daerah, harga barang maupun lifestyle rakyat tidak seperti di Jakarta yang serba mahal dan mewah. Di Jakarta, orang menghamburkan uang berjuta-juta dalam waktu semalam adalah hal biasa, padahal di sekitarnya banyak orang miskin yang mencari sesuap nasi harus mempertaruhkan nyawa.
Karenanya, keberadaan Ahok yang beretnis China menjadi angin segar bagi kehidupan warga Jakarta yang sebagian besar tergolong berada di beranda perekonomian etnis China. Sebagai wakil gubernur yang berasal dari etnis China tentu tidak akan membiarkan para konstituennya yang mayoritas rakyat menengah ke bawah tetap bernasib apes dalam mengarungi hidup di rimba ibukota. Sebagai etnis China tentu memudahkan Ahok memperoleh akses dari para pengusaha China untuk membantu memberdayakan warga Jakarta agar lebih berdaya dan sejahtera
Bahkan, pada tingkat internasional keberadaan Ahok di Pemerintah DKI Jakarta sangat strategis membantu pertumbuhan ekonomi nasional. Sebagai etnis Tionghoa, Ahok dapat berperan mencari peluang bagi kepentingan Indonesia. Jaringan chinese overseas masih cukup kuat menguasai ekonomi dunia. Kita mengenal adanya jaringan antara pengusaha Tionghoa di Indonesia dengan pengusaha Tionghoa di Singapura, Malaysia, Thailand dan juga pengusaha Tiongkok sendiri. Jaringan tersebut tidak hanya bersifat profesional bisnis namun juga karena hubungan keluarga atau kekerabatan.
Keberadaan Ahok, meski sebagai pendamping Jokowi sepatutnya disyukuri semua pihak di negeri ini. Ahok harus diberi ruang luas untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat Jakarta. Rakyat miskin kota, buruh-buruh berupah murah, dan pedagang kaki lima sesungguhnya sedang menanti tangan ajaib etnis China yang terkenal piawai berniaga.
Kita berharap, pasca kemenangan Jokowi - Ahok di ibukota negara, puak China kian banyak memberikan kontribusi bagi kemajuan ekonomi bangsa. Dengan demikian sepenggal syair karangan Seno Gumira Aji Darma itu hanya memori kelam yang tak perlu lagi dikenang, apalagi dideklamasikan. Semoga.***
Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Medan
Tweet |